Selamat Ulang Tahun, Indonesia

Pagi ini, 07.00 WIB

Aku sudah beranjak dari kasurku, melakukan kebiasaan pagi, membuka jendela kamar, mematikan lampu, membuka jendela-jendela rumah, pintu, minum air putih, lalu menyalakan TV. Selama aku melakukan hal-hal tersebut, aku dilandai suatu keraguan. Pagi ini, 17 Agustus 2017, 3 jam menuju detik detik proklamasi 72 tahun yang lalu. Hari hari sebelumnya, aku tidak banyak melewati rangkaian perayaan Kemerdekaan Indonesia yang banyak diisi dengan lomba-lomba,kumpul warga, dsb. Namun, beberapa hari sebelumnya ada hal-hal yang menyuruhku untuk merayakan kemerdekaan ini sebaik mungkin, supaya kemerdekaan bukan hanyalah kenangan atau urutan peristiwa sejarah yang di tulis di buku sejarah anak muda.



Aku terus bertanya, apa aku harus mengikuti niatku dan menang pada hari ini? Atau aku akan tetap menjadi aku yang biasanya dan kalah dengan tindakan mencoba? Aku tidak menanyakan pendapat siapapun pagi ini, mungkin karena aku terlalu malu dengan pendapat orang lain mengenai niatku? Tapi yang jelas, pagi itu dalam beberapa menit aku harus membulatkan keputusanku. Kulihat sebuah acara berita di TV menampilkn informasi bahwa upacara bendera di Istana Negara akan dimulai pada pukul 08.30 WIB. Kuarahkan pandanganku ke jam dinding, ini sudah jam 07.40. Umumnya semua upacara peringatan hari kemerdekaan di tempat-tempat resmi juga diadakan mendekati jam-jam tersebut. 

Lalu aku langsung bergegas mengambil handukku dan mempersiapkan diriku. Aku akan mengikuti dan melihat Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-72 di Gedung Agung Yogyakarta

Di perjalanan, otakku ikut berkelana mencari hal-hal apa yang bisa kulakukan supaya kemerdekaan kali ini bisa kurayakan dengan sebaik mungkin. Seperempat perjalanan aku tersadar, jalanan sepi, apa mungkin orang orang sedang berada di lapangan di kampungnya, atau di sekolahnya, atau masih ada yang memanfaatkan hari libur ini untuk beristirahat di rumah, atau masih mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Aku sebenarnya sangat ingin, jika aku sudah memilih suatu pilihan, akan ada banyak tanda yang mengatakan bahwa pilihanku tersebut benar, maksudku siapa yang tidak menginginkannya? Namun dengan cepat kusapu hal tersebut dari pikiranku. Pasti nanti meriah, pasti aku akan mendapatkan sesuatu nanti.

Gedung Agung lumayan ramai, namun aku tak sampai kehabisan nafas. Hanya saja sedikit bingung dengan yang mengatur pertamanan gedung agung, bagaimana caranya kami rakyat biasa melihat/mengambil gambar jalannya upacara jika ditutupi dengan tanaman tinggi sepagar? Kukalahkan diriku akhirnya untuk adik adik kecil juga ibu ibu yang ingin melihat lebih dekat. Toh aku juga tidak dapat mengabadikan dengan jelas momen itu. Namun, aku berhasil mengikuti awalan upacara dengan hikmat. Tetesan air mata saat mengheningkan cipta dan doa kuharap dapat cepat mengantarkan doa dan harapan rakyat Indonesia menuju langit ketujuh supaya Indonesia terselamatkan dari bencana. Bencana tersurat maupun tersirat. Yang rupanya, bencana itu sedikit terlihat di sekitarku. Walau upacara merupakan proses yang sakral, agaknya tak semua orang merasakan kesakralan hari tersebut. Namun, memang hal yang paling minimal dari berusaha mengubah suatu keadaan adalah tidak berpartisipasi dalam hal hal yang ingin kau ubah. Apalagi jika kamu sendirian. Penjual-penjual es krim terlihat berkeliling menawarkan orang-orang kesegaran di tengah teriknya matahari 17 Agustus. Di dua titik yang berbeda ada eskrim asli Indonesia juga ada eskrim kepunyaan luar negri. Tampak ingin kuabadikan sebagai bentuk kritikku terhadap kehadiran penjajah di momen sakral kami. Namun baru kusadari penjualnya sudah beruban dengan kulit yang sudah mengkerut. Tak tega dengan satu individual yang aku kira pastinya tidak tahu menahu soal untuk siapa ia berjualan, namun juga tak tega dengan negaraku yang sedang berulang tahun.

Dahulu, saat detik detik pembacaan proklamasi, semua orang yang menyiapkan proklamasi tersebut melakukan hal-hal atas nama harga diri, persatuan, keberanian, dan juga kebanggaan. Sang pengibar bendera, Latief Hendraningrat bahkan mengibarkan bendera merah putih dengan tiang terbuat dari bambu yang dibuat sedemikian rupa supaya bisa terpasang kerekan  untuk mengibarkan bendera merah putih, padahal ada tiang bendera bekas bendera Jepang maupun Belanda yang lebih layak yang bisa digunakan. Hal yang kita lihat kecil itu, rupanya merupakan hal yang sangat besar bagi orang-orang jaman dahulu. Hanya tiang. Hal-hal material ternyata memang mempunyai makna yang lebih dari sekedar benda.

Sesudahnya aku mencukupkan diriku hadir dalam upacara itu, aku melewati depan Monumen Serangan Umum Satu Maret. Disana terlihat ada pasangan suami istri, dengan sebuah keyboard kecil di depannya. Sang suami yang sepertinya buta dengan amatir memainkn chord chord lagu Indonesia Raya didampingi istrinya yang memayungi mereka berdua di bawah teriknya matahari. Kusisihkan selembar kertas untuk mereka yang membantu memberikan suasana kemerdekaan pada pagi hariku.

Pagi itu lumayan berjalan dengan cepat dan praktis. Aku sudah berhasil menghadiri Upacara Peringatan Kemerdekaan Indonesia, mendapatkan pelajaran dan fakta-fakta di luar sana, juga kesimpulan dari pertanyaanku yang terus kuulang. Hal apa yang bisa kulakukan untuk mengisi kemerdekaan sebaik mungkin?

1. Menyadari bahwa kemerdekaan bukan hanya dirayakan dan dimaknai dalam satu hari saja. Namun, kemerdekaan merupakan hal yang harus dipertahankan, harus diperjuangkan, oleh tentunya seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda.
2. Cara untuk memperjuangkan keselamatan bangsa Indonesia sangatlah sulit dan besar untuk dipikirkan jika kita sudah terjun ke lapangan, melihat keadaan Indonesia. Maka menambah ilmu beserta hakikatnya sangatlah penting, supaya generasi muda dapat mengikuti jejak pahlawan-pahlawan kita yang tak pernah lepas dari ilmu.
3. Berani mencoba. Mencoba merupakan kunci utama dari kita bisa mengetahui apakah kita sudah mampu atau belum untuk melakukan suatu hal yang berbeda dari yang kita lakukan biasanya.
4. Nekat. Pemuda terkenal dengan aksi nekatnya, tanpa mengkhawatirkan kemungkinan terburuk, dan bersiap menghadapi resiko. Bayangkan jika zaman dahulu pemuda tidak nekat  untuk menculik Soekarno dan Hatta. Mungkin kita akan merdeka namun masih dibawah kendali penjajah.

Dan banyak hal lain.....
Dan harus kita mulai....

Kita harus bisa memprioritaskan hal hal primer untuk kita perjuangkan lebih dulu. Memang prioritas sangat subjektif, tapi bukankah Indonesia sekarang sedang sekarat dengan ulah ulah rakyatnya? Tidakkah hal hl tersebut membuat urgensi untuk kita memprioritaskan Indonesia?

Aku bukanlah seorang yang sudah hebat. Namun, aku menyadari hal ini dan patut kutularkan, karena hal2 ini juga kudapatkan dari berbagai orang hebat. Jadi tunggu apalagi, Pemuda Indonesia?

Sekali merdeka, tetap merdeka!

nhr
[ Siang hari 17 Agustus 1945+72 - Ekologi ]

Comments

Popular posts from this blog

tonight it's a bit of Q.S Ghafir

some thoughts i think today, 10.03.2025

what's more to embrace?